Pada dasarnya, perkembangan sistem perekonomian di perdesaan dibagi ke dalam tiga tahap. Yaitu tahap subsisten, tahap peralihan dari subsisten ke modern dan tahap modern. Pada pertanian subsisten, produksi pertanian hanya ditujukan untuk keperluan konsumsi produksi, dan pada tahap ini kebutuhan akan dana kredir belum berkembang.
Dalam tahap peralihan, mulai terlihat adanya spesialisasi produksi dan teknologi baru, sehingga kebutuhan masyarakat yang semula terbatas hanya pada bahan makanan pokok mulai berkembang pada kebutuhan akan barang-barang lain dan sarana produksi. Kebutuhan-kebutuhan ini umumnya berasal dari luar desa dan memerlukan pengeluaran dalam jumlah yang besar sebelum memperoleh hasilnya. Oleh karena itu, pada tahap ini masyarakat memerlukan dana kredit, terutama kredit yang bersifat musiman.
Masalah perkreditan di daerah perdesaan melibatkan dua kelompok kepentingan, yaitu para petani (atau masyarakat perdesaan) di satu pihak sebagai debitur (peminjam atau penerima kredit), dan lembaga-lembaga perkreditan sebagai krediturnya. Kedua kelompok ini tentu saja berbeda dalam kepentingan dan tujuannya terhadap perkreditan, sehingga dapat menimbulkan perbedaan pandangan. Perbedaan pandangan ini terjadi antara lembaga perkreditan pemerintah dan masyarakat petani di daerah perdesaan.
Sebagai contoh kredit Bimas, yang kadang-kadang ditanggapi secara negatif oleh para petani. Padahal, siapa yang akan menyangkal manfaat Bimas bagi pembangunan nasional, dan juga siapa yang akan menyangkal komitmen Bimas bagi kepentingan petani. Tanggapan ini menunjukkan bahwa kadang-kadang terjadi perbedaan pandangan antara debitur dan kreditur. Untuk mengurangi perbedaan pandangan antara dua kelompok tersebut, maka lebih dahulu harus diketahui karakteristik, sikap dan nilai dari para petani (debitur) maupun kreditur, serta lingkungan hidupnya dalam kaitannya dengan usaha pertanian kecil, dan lain sebagainya.
Karakteristik petani meliputi luas lahan pertanian, tingkat pendapatan jumlah anggota keluarga dewasa, dan kesempatan kerja di luar usaha taninya. Sedangkan sikap dan nilai dari petani dapat tercermin dari hubungan baik dan saling mengerti antara kreditur dan debitur. Dalam perkreditan formal seringkali tidak terlihat adanya hubungan tersebut. Sebaliknya, di dalam kredit informal, meskipun dengan suku bunga yang relatif tinggi tetapi masih banyak dijumpai petani yang meminjam, karena hubungan antara kedua belah pihak berlangsung akrab dan kekeluargaan. Kreditur informal nampaknya telah memahami dengan baik sikap dan mental petani, sehingga dengan mudah dapat menarik simpati petani untuk meninjam pada mereka.
Sumber kredit informal ini bersifat fleksibel, tanpa prosedur (birokrasi) yang berbelit-belit, saling mengenal, dan berhubungan erat. Pinjaman juga tidak diawasi dengan ketat, para petani bebas menggunakan kreditnya, begitu juga kreditur mengetahui betul mengenai kelayakan kredit petani serta bersedia memberikan pinjaman kapan, di mana dan berapa saja yang diminta.
Sedangkan kredit formal tidak fleksibel, prosedur berbelit, kedua belah pihak tidak saling mengenal dengan baik, memerlukan waktu yang relatif lama, baik untuk mengambil maupun membayar kredit. Lebih jauh lagi, terkadang debitur harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mengurusnya, sehingga suku bunga yang berlaku menjadi tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian di DAS Cimanuk, dapat disimpulkan bahwa di dalam penelitian tersebut kebutuhan kredit petani kecil telah dilayani oleh sumber informal. Petani besar sangat sedikit yang berhubungan dengan kreditur informal karena kebutuhan kredit mereka telah dipenuhi oleh lembaga perbankan serta lembaga kredit formal lainnya melalui kredit program kredit kecil perdesaan yang menarik dengan bunga yang relatif rendah. Petani kecil masih enggan dan tidak mau berurusan dengan lembaga kredit formal, karena dalam mendapatkan pelayanan lembaga kredit formal seringkali mereka dihadapkan pada prosedur yang lama dan berbelit-belit.
Oleh karena itu, pemerintah berusaha memperbaiki dan memperluas jangkauan pelayanan perkreditan agar dapat mencapai lapisan masyarakat perdesaan yang lebih rendah. Kemudian berbagai bentuk perkreditan mulai dikembangkan, seperti Kredit Candak Kulak (KCK), KIK, KMKP, dan lain sebagainya.
Beberapa lembaga perkreditan formal lainnya, seperti Bank Pembangunan Daerah (BPD), Koperasi dan lembaga-lembaga lainnya mencoba menyalurkan kredit-kredit sejenis seperti yang dikembangkan pemerintah setelah mereka melihat adanya perkembangan yang cukup pesat akan kebutuhan kredit.
Sumber Referensi:
Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan: Edisi Ke-5. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan STIM YKPN.
0 comments:
Post a Comment