Untuk bisa mengambil keputusan-keputusan keuangan
yang benar, manajer keuangan perlu menentukan tujuan yang harus dicapai.
Keputusan yang benar adalah keputusan yang akan membantu mencapai tujuan
tersebut.
Secara normatif, tujuan keputusan keuangan adalah
untuk memaksimumkan nilai perusahaan. Apa yang dimaksud dengan nilai
perusahaan? Nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon
pembeli apabila perusahaan tersebut dijual.
Misalkan kita menanamkan dana kita (seluruhnya adalah
uang kita semua, tidak ada dana pinjaman) dengan mendirikan dua toko buku.
Jumlah uang yang kita tanamkan sama besarnya (misalnya Rp500 juta).
Dua toko buku tersebut, yang satu berada di kompleks
perguruan tinggi dan pemukiman, serta untuk lalu lintas dan parkirnya mudah.
Satunya berlokasi di daerah perdagangan yang lalu lintasnya cenderung macet dan
susah untuk parkir.
Meskipun investasi yang kita lakukan sama besarnya,
kalau kedua toko tersebut akan dijual, kemungkinan sekali harga yang bersedia
dibayar oleh (calon) pembeli tidaklah sama. Apabila harga yang bersedia dibayar
oleh pembeli lebih tinggi untuk toko buku yang di daerah sekitar perguruan
tinggi, maka kita mengatakan bahwa nilai perusahaan (toko buku) di daerah
perguruan tinggi tersebut lebih tinggi dari perusahaan satunya.
Semakin tinggi nilai perusahaan, semakin besar
kemakmuran yang akan diterima oleh
pemilik perusahaan. Misalkan toko buku di daerah perguruan tinggi laku terjual
dengan harga Rp800 juta, sedangkan di daerah perdagangan laku dengan harga
Rp600 juta.
Sumber gambar: tribunnews.com |
Dengan demikian tentunya kita lebih suka kalau
perusahaan kita mempunyai nilai yang makin tinggi. Kita merasa lebih beruntung
dari investasi kita dalam bentuk toko buku di sekitar perguruang tinggi. Karena
kita makin suka kalau menjadi makin kaya, demikian juga dengan pemilik
perusahaan, maka tujuan peningkatan nilai perusahaan dipergunakan sebagai
tujuan normatif. Bagi perusahaan yang menerbitkan saham di pasar modal, harga
saham yang diperjual-belikan di bursa merupakan indikator nilai perusahaan.
Memaksimumkan nilai perusahaan (atau harga saham)
tidak identik dengan memaksimumkan laba per lembar saham (earnings per share, EPS). Hal ini disebabkan karena 1)
memaksimumkan EPS mungkin memusatkan pada EPS saat ini, 2) memaksimumkan EPS
mengabaikan nilai waktu uang dan 3) tidak memperhatikan faktor risiko.
Perusahaan mungkin memperoleh EPS yang tinggi pada
saat ini, tetapi apabila pertumbuhannya diharapkan rendah, maka dapat saja
harga sahamnya lebih rendah apabila dibandingkan dengan perusahaan yang saat ini mempunyai EPS yang lebih
kecil.
Dengan demikian memaksimumkan nilai perusahaan juga
tidak identik dengan memaksimumkan laba, apabila laba diartikan sebagai laba
akuntansi (yang bisa dilihat pada laporan rugi laba perusahaan). Sebaliknya
memaksimumkan nilai perusahaan akan identik dengan memaksimumkan laba dalam
pengertian ekonomi (economic profit).
Hal ini disebabkan karena laba ekonomi diartikan sebagai jumlah kekayaan yang bisa dikonsumsikan tanpa membuat pemilik kekayaan
tersebut menjadi lebih miskin.
Jadi misalkan pada awal tahun Anda memiliki dana
senilai Rp10 juta dan pada akhir tahun meningkat menjadi Rp11,5 juta, bukan
berarti kekayaan Anda meningkat sebesar Rp1,5 juta (sehingga bisa berkonsumsi
maksimum sebesar Rp1,5 juta). Faktor penyebabnya adalah nilai waktu uang. Anda
mungkin merasa bahwa kekayaan Rp10 juta pada awal tahun sama dengan Rp11,5 juta
pada akhir tahun. Apabila memang demikian, maka sebenarnya selama satu tahun
tersebut kekayaan Anda tidak berubah.
Sayangnya konsep keuntungan ekonomi ini akan sangat
sulit diterapkan oleh perusahaan dalam bisnis segari-hari. Sebagai misal,
perhitungan pajak akan didasarkan atas laba akuntansi dan bukan laba ekonomi.
Karena itulah kalau kita mendengar istilah laba dalam lingkup perusahaan, bisa
dipastikan pengertiannya adalah pengertian akuntansi.
Sumber:
Suad Husnan & Enny Pudjiastuti. 2015. Dasar-dasar Manajemen Keuangan: Edisi
Ketujuh. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
0 comments:
Post a Comment