Technostress, pembahasan dalam artikel
ini akan dipersempit ke arah technostress
yang dialami oleh guru. Perkembangan teknologi yang begitu pesat menuntut guru
untuk bisa mengikuti perkembangan tersebut. Hal yang sangat mudah dilihat
adalah penggunaa komputer (laptop) dalam mendukung kinerja guru, tetapi apakah
semua guru mampu mengikuti dan menggunakannya?
Stres merupakan kondisi kognitif yang
dialami individu ketika mereka dalam situasi lingkungan yang dipersepsikan
sebagai bentuk permintaan yang mengancam dengan melebihi kapabilitas dan sumber daya seseorang untuk menghadapinya,
dalam kondisi dimana ia mengharapkan substansi yang berbeda dalam penghargaan
dan pengorbanan dengan keadaan ia akan mendapatkannya atau tidak (McGrath dalam
Tarafdat, Tu, dan Nathan, 2011). Stressor
pekerjaan dapat termasuk ancaman apapun yang dihadapi seseorang (Spector, 2002).
Istilah technostress tercipta
pada 1984 dari psikologi klinis bernama Craig Brod, yang menjelaskannya sebagai
penyakit modern yang disebabkan oleh ketidakmampuan menguasai atau bekerja sama
dengan teknologi informasi dan komunikasi (TI) dalam cara sehat (Ayyagari dan
Purvis, 2011).
Technostress
menggambarkan stress yang dialami
pengguna sebagai hasil dari aplikasi multi tugas, konektivitas yang
terusmenerus, informasi yang berlebihan, perubahan (upgrading) sistem yang berkali-kali dan akibat dari ketidakpastian,
pembelajaran ulang dan dampak ketidak amanan sehubungan dengan pekerjaan yang berkelanjutan, dan
masalah teknis yang berhubungan dengan penggunaan TI dalam organisasi
(Tarafdat, Tu, dan Nathan, 2011).
Stres di tempat kerja diakui
berkontribusi dan berdampak pada masalah kesehatan dan kualitas hidup (Cooper
et al. 1996; Sutherland and Cooper 1990; Tennant 200, dalam Ayyagari dan
Purvis, 2011).
World
Health Organization (WHO) berpendapat bahwa pola kerja sedikit
banyak berubah karena peningkatan penggunaan TI (WHO 2005). Mereka mengklaim
kebanyakan organisasi merespon untuk mencegah dan mengeliminasi risiko
kesehatan di tempat kerja, yang pertama pada risiko fisik dan yang terutama
adalah risiko psikologis dan dampak pekerjaan pada kesehatan mental (hal. 3),
dan menyatakan melatih personel dan menyesuaikan peralatan dipersyaratkan untuk
mereduksi risiko kesehatan mental pekerja (dalam Ayyagari dan Purvis, 2011).
Dari penjelasan di atas, dalam keadaan
guru yang sangat membutuhkan komputer
untuk melaksanakan pekerjaannya, baik dalam menyusun perangkat pembelajaran,
melakukan penelitian, dan mengeksekusi perangkat pembelajaran melalui
pembelajaran didalam kelas, computer
anxiety sangat bisa menjadi stressor
bagi guru.
Berdasarkan data WHO di atas, pola kerja
guru akan berubah dengan pengaplikasian komputer untuk melaksanakan
pekerjaannya. Berawal dari ketidakmampuan guru dalam mengoperasikan komputer
dengan baik, sementara kebutuhan akan komputer dalam melaksanakan pekerjaannya
sangat tinggi akan menimbulkan ancaman tidak terselesaikannya pekerjaan dan
dampak dari tidak terselesaikannya pekerjaan dapat berupa tidak dibayarnya
penghasilan secara penuh atau bahkan pemutusan hubungan kerja.
Hal tersebut sangat mungkin menjadi stressor bagi guru dan sedikit banyak bisa
saja mengganggu kinerja mereka dan bahkan dapat bisa mengganggu kesehatan
mentalnya.
0 comments:
Post a Comment