Usaha Kecil dan Mikro (UKM) merupakan sektor
yang penting dan besar kontribusinya dalam mewujudkan sasaran-sasaran
pembangunan ekonomi nasional, seperti pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja,
peningkatan devisa negara, dan pembangunan ekonomi daerah. UKM diharapkan
mempunyai kemampuan untuk ikut memacu pertumbuhan ekonomi nasional sehingga UKM
membutuhkan pelindung berupa kebijakan pemerintah seperti undang-undang dan
peraturan pemerintah. Adanya regulasi baik berupa undang-undang dan peraturan
pemerintah yang berkaitan dengan UKM dari sisi produksi dan sisi perbankan,
akan memacu peranan UKM dalam perekonomian. Seperti yang diungkapkan oleh George. J. Stigler dalam Mandala
Harefa (2008: 206), bahwa “Regulasi adalah seperangkat aturan yang
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan manfaat untuk masyarakat pada
umumnya atau pada sekelompok masyarakat”.
Manfaat dari regulasi tersebut dapat dilihat
dari dua sisi, yakni dari sisi pemerintah sebagai pembuat regulasi dan dari
sisi pengusaha sebagai obyek perizinan. Bagi pemerintah, perizinan diperlukan
untuk menjaga ketertiban umum dan memberikan perlindungan kepada masyarakat
secara luas. Bagi pengusaha, perizinan seharusnya memberi manfaat sosial dan
ekonomi. Bila suatu kebijakan atau regulasi tidak sesuai dengan harapan,
tentunya kebijakan tersebut harus dievaluasi karena adanya evaluasi akan diperoleh
masukan yang berkaitan dengan ketidaksesuaian kebijakan dengan kinerja yang
diharapkan hasilnya. Jadi, evaluasi membantu pengambil kebijakan pada tahap
penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Evaluasi kebijakan
tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai berapa jauh masalah telah
terselesaikan, tetapi memberi masukan pada klarifikasi dan kritik terhadap
nilai-nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian, dan perumusan
kembali masalah.
Pemerintah membuat kebijakan untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi yang terkait langsung dengan UKM yaitu telah
dicangkannya tiga butir kebijakan pokok di bidang ekonomi. Pertama, adalah
peningkatan layanan jasa keuangan khususnya untuk pelaku UKM, yang meliputi
perbaikan layanan jasa perbankan, pasar modal, multifinance, asuransi.
Kebijakan pokok kedua adalah peningkatan infrastruktur
layanan jasa keuangan, berupa akses pasar, layanan penagihan dan pembayaran,
kemudahan investasi dan menabung, serta dukungan umum atas pelaksanaan
transaksi perdagangan. Peningkatan layanan jasa dan infrastruktur
pendukungnya tidak akan berarti banyak tanpa upaya pembenahan menyeluruh untuk
meningkatkan kemampuan entrepreneurship
bagi pelaku UKM. Kebijakan pokok ketiga adalah meningkatkan kemampuan dan
penguasaan aspek-aspek teknis dan manajemen usaha, pengembangan produk dan
penjualan, administrasi keuangan, dan kewirausahaan secara menyeluruh.
Kebijakan
pemerintah dalam pengembangan sektor UKM tersebut bertujuan untuk meningkatkan
potensi dan partisipasi aktif UKM di dalam proses pembangunan nasional,
khususnya dalam kegiatan ekonomi dalam rangka mewujudkan pemerataan pembangunan
melalui perluasan kerja dan peningkatan pendapatan. Menurut Abdul Rosid (2004: 1), ”Sasaran dan pembinaan
usaha kecil adalah meningkatnya jumlah usaha kecil dan terwujudnya usaha yang
makin tangguh dan mandiri, sehingga pelaku ekonomi tersebut dapat berperan
dalam perekonomian nasional, meningkatnya daya saing pengusaha nasional di
pasar dunia, serta seimbangnya persebaran investasi antar sektor dan antar
golongan”.
Pemerintah melalui berbagai elemen seperti
Departemen Koperasi, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Bappenas, BUMN
juga institusi keuangan baik bank maupun nonbank, melakukan berbagai upaya
untuk mewujudkan UKM
agar dapat menjadi tangguh dan mandiri serta dapat berkembang untuk mewujudkan
perekonomian nasional yang kukuh. Dukungan diwujudkan melalui kebijakan maupun
pengadaan fasilitas dan stimulus lain. Selain itu, banyak dukungan atau bantuan
yang diperlukan berkaitan dengan upaya tersebut, misalnya bantuan berupa
pengadaan alat produksi, pengadaan barang fisik lainnya juga diperlukan adanya
sebuah metode, mekanisme dan prosedur yang memadai, tepat guna, dan aplikatif
serta mengarah pada kesesuaian pelaksanaan usaha dan upaya pengembangan dengan
kemampuan masyarakat sebagai elemen pelaku usaha dalam suatu sistem
perekonomian yang berbasis masyarakat, yaitu dalam bentuk UKM.
Usaha
dalam menjamin kemajuan dan pengembangan UKM juga diprogramkan oleh Departemen
Keuangan melalui SK Menteri Keuangan (Menkeu) No.316/KMK.016/1994. SK
tersebut mewajibkan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menyisihkan 1-5% laba perusahaan bagi
Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK). Kewajiban BUMN untuk menyisihkan labanya 1-5%
belum dikelola dan dilaksanakan dengan baik. Studi oleh Sri Adiningsih (2003: 4) dijelaskan bahwa kebanyakan BUMN
memilih persentase terkecil, yaitu 1 % dari labanya, sementara itu banyak UKM
yang mengaku kesulitan mengakses dana tersebut. Selain itu kredit perbankan
juga sulit untuk diakses oleh UKM, di antaranya karena prosedur yang rumit
serta banyaknya UKM yang belum bankable.
Menurut
Tulus Tambunan (2002) seperti yang dikutip oleh Choirul Djamhari
(2004: 522), “Di
Indonesia kebijakan terhadap UKM lebih sering dikaitkan dengan upaya pemerintah
mengurangi pengangguran, memerangi kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Karena
itu pengembangan UKM sering dianggap secara tidak langsung sebagai kebijakan
penciptaan kesempatan kerja, atau kebijakan redistribusi pendapatan”. Jadi, di
Indonesia kebijakan UKM masih berorientasi kepada sosial daripada pasar atau
persaingan sehingga kebijakan yang diambil belum sepenuhnya terintegrasi dalam
kebijakan ekonomi makro.
Berdasarkan
beberapa pendapat dan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dalam menjamin
pengembangan UKM dapat disimpulkan bahwa dalam rangka memberdayaan UKM dpat
ditempuh meliputi; 1). Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan
iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat nasional yang meliputi: Pendanaan/penyediaan
sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana; Persaingan; Prasarana;
Informasi; Kemitraan; Perijinan; Perlindungan; 2). Pembinaan dan pengembangan
usaha kecil di tingkat nasional meliputi: Produksi; Pemasaran; Sumber daya
manusia; Teknologi; 3). Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan
bagi UKM di tingkat nasional meliputi: kredit perbankan; penjaminan lembaga bukan bank; Modal ventura; pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba
BUMN; hibah; jenis pembiayaan lain.
0 comments:
Post a Comment