Store
environment merupakan unsur penting dalam retailing
mengingat bahwa 70% dari pembelian ternyata merupakan impulse buying atau
pembelian yang tidak direncanakan (Dunne dan Lusch, 2005: 457). Melalui
elemen-elemen yang ada di dalam store environment, retailer dapat
menciptakan stimuli-stimuli yang akan memicu atau menggerakkan pelanggan untuk
membeli lebih banyak barang di luar yang mereka rencanakan. Store
environment yang dirancang dengan baik dan sesuai dengan target market yang
ditetapkan akan dapat menciptakan emosi-emosi atau suasana hati yang kondusif
untuk berbelanja. Teori mengenai store environment dan elemen-elemen di
dalamnya yang akan digunakan dalam penelitian ini khususnya mengacu pada teori
oleh Dunne dan Lusch (2005).
Tidaklah
mungkin sebuah toko tidak dibagi-bagi menjadi beberapa kategori atau departemen
kecuali toko tersebut hanya mempunyai spesialisasi untuk satu macam produk
saja, misalnya toko lilin. Sebagai gambaran, buku akan ditemukan diantara
sabun, atau CD dicampur dengan sabun, dan pelanggan tidak tahu harus berbelanja
mulai dari mana. Hal yang serupa, tanpa adanya tandatanda, sebuah toko akan
hanya seperti lautan rak dan barang-barang dan akan menyulitkan pelanggan untuk
berbelanja. Tidak kalah pentingnya yaitu visual display dan focal
points, dimana barang-barang tertentu ditempatkan di daerah yang strategis
untuk menarik perhatian pelanggan.
Sebuah
toko retail harus dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang dapat membantu dan
mengarahkan pelanggan dengan mudah untuk menjelajahi seluruh toko. Sekali saja
seorang pelanggan sedikit bingung tentang dimana mereka berada, kemana mereka
harus pergi, berapa harga barang-barang, atau dimana letak suatu barang, mereka
akan merasa frustasi dan apabila kejadian tersebut terulang-ulang maka
pelanggan akan menarik kesimpulan bahwa toko tersebut bukan tempat yang mudah
dan nyaman untuk berbelanja. Maka dari itulah diperlukan store planning yang
baik untuk menciptakan store environment yang nyaman untuk berbelanja.
Dalam
retailing, istilah store planning atau bisa juga disebut floor plan adalah
sebuat skematis yang menunjukkan dimana barang-barang dan pusat pelayanan
berada, bagaimana sirkulasi pelanggan di dalam toko dan seberapa banyak
ruang yang dialokasikan untuk tiap-tiap departemen.
“Floor plan is a schematic that shows where merchandise and customer service department are located, how customers circulate through the store, and how much space is dedicated to each department “ (Dunne dan Lusch, 2005: 456).
Retailer
yang sukses selalu menempatkan barang-barang mereka di tempat yang strategis.
Sebagai contoh, sirup cokelat diletakkan di dekat ice cream atau selai di dekat
mentega. Aturan sederhana lainnya dalam menempatkan barang dengan memperhatikan
usia pelanggan. Contohnya, tidak meletakkan mainan anak di rak paling atas yang
tidak dapat dijangkau oleh anak kecil, tidak meletakkan krim untuk gigi palsu
di rak paling bawah dimana orang-orang tua akan kesulitan untuk membungkuk.
Yang
hampir sama pentingnya dengan menempatkan barang-barang di tempat yang tepat
adalah mengurangi stack-out yaitu barang-barang yang dipajang dilantai
didepan rak utama. Karena berdasarkan penelitian, meskipun memajang banyak
barang di depan rak utama dapat meningkatkan penjualan untuk barang tertentu,
tetapi di lain pihak malah akan mengurangi tingkat penjualan keseluruhan. Hal
ini dikarenakan apabila seorang pelanggan tidak memiliki kebutuhan akan barang
tersebut, maka mereka akan melewati aisle tersebut. Mengingat bahwa 70%
pembelian adalah impulse atau tidak direncanakan (Dunne dan Lusch, 2005:
457), maka retailer akan mengalami penurunan penjualan karena pelanggan telah
melewatkan beberapa aisle. Ada tiga hal utama yang harus diperhatikan
dalam merancang sebuah floor plan yaitu mengalokasikan ruang, mengatur sirkulasi dan
mengurangi penyusutan.