Bank Syariah yang ada di Indonesia
sedikit berbeda dengan bank-bank Syariah yang ada di negara-negara lain seperti
negara-negara timur tengah. Memang suatu hal yang wajar apabila Bank Syariah
belum mampu bersaing dengan Bank-Bank Syariah di timur tengah karena bank-bank
Syariah di timur tengah sudah lama eksis, mendapat dukungan masyarakat dan
pemerintahnya melalui deposito yang disimpan di Bank Syariah, deregulasi
pemerintah dan undang-undang yang mendukung dan mengatur secara khusus tentang
sistem perbankan Syariah seperti halnya negara Kuwait, Saudi Arabia, Mesir dan
lainnya.
Pelayanan sosial pada perbankan
Syariah di Indonesia masih sangat terbatas bahkan dibatasi oleh undang-undang
perbankan Indonesia, dimana Bank Syariah di Indonesia tidak boleh melakukan
pelayanan sosial yang selama ini menjadi kewenangan lembaga-lembaga sosial.
Disamping itu, instrumen dan produk bank masih dibatasi pada bentuk tertentu,
seperti murabahah padahal Bank Syariah itu mempunyai banyak sistem investasi
yang lebih unggul dan aman seperti mudharabah dan musyarakah dan lainnya. Ini
menyebabkan Bank-Bank Syariah kesulitan dalam mengembangkannya, bahkan terjebak
dalam siklus investasi yang sempit.
Dengan memberikan pilihan bentuk
investasi kepada para klien adalah jaminan akan kematangan konsep Bank Syariah,
dimana setiap klien akan memilih instrumen-instrumen tadi sesuai dengan
kebutuhan, kemampuan dan peluangnya. Berbeda apabila Bank Syariah hanya
menyediakan instrumen investasi dalam bentuk-bentuk tertentu, dimana seorang
klien dengan terpaksa hanya mengandalkan instrumen yang tersedia, hal itu bisa
berakibat fatal apabila kemampuan klien dan peluangnya tidak bisa dikembangkan
pada instrumen yang tersedia pada Bank Syariah.
Contohnya: seorang klien mempunyai peluang investasi yang mengandalkan bentuk musyarakah, dan ternyata bentuk investasi yang tersedia di bank hanya dalam bentuk murabahah dan ijarah. Dalam hal ini, memaksakan salah satu dari dua instrumen investasi akan fatal dan berisiko tinggi.
Contohnya: seorang klien mempunyai peluang investasi yang mengandalkan bentuk musyarakah, dan ternyata bentuk investasi yang tersedia di bank hanya dalam bentuk murabahah dan ijarah. Dalam hal ini, memaksakan salah satu dari dua instrumen investasi akan fatal dan berisiko tinggi.
Praktik pengatasnamaan syariah yang
saat ini marak dilakukan oleh banyak pihak di Indonesia, termasuk pemerintah.
Dengan pengatasnamaan ini, beberapa praktek yang dilabeli syariah tidak jarang
justru bertentangan dengan hakikat normatif yang digariskan dalam norma-norma
keagamaan itu sendiri. Pada titik ini, praktek perbankan syariah yang
mengutamakan bagi hasil dan risiko adalah satu contoh kasus.
Dalam banyak praktek, bank-bank komersial berlabel syariah sekadar menerapkan bagi keuntungan dan tidak mengikutsertakan pembagian risiko. Bahkan, hampir semua bank syariah bisa dikatakan menerapkan proporsi bagi hasil yang identik dengan cost of fund atau rate of return perbankan konvensional. Dengan kata lain, esensi yang dilakukan adalah sama, berupa penggandaan uang dan hasil berlebih yang secara normatif sesungguhnya ditentang dalam ajaran agama Islam.
Sayang, banyak pembela ekonomi syariah seakan menutup mata atau tidak mengetahui pelanggaran ini. Bagi mereka, segala sesuatu yang berlabelkan syariah adalah otomatis baik dan valid. Sebagai contoh, bank bagi hasil merupakan inovasi kelembagaan yang bisa jadi merupakan terobosan dalam mengatasi maraknya spekulasi dan keserakahan. Sayang, prakteknya masih terlalu mengekor bank bunga, sehingga esensinya tidak tercapai, hanya sekadar akad. Penyimpangan dari konsepsi bank syariah akan menghilangkan jati diri dan keunikan bank syariah, yang pada gilirannya akan menghilangkan eksistensi bank syariah.
Dalam banyak praktek, bank-bank komersial berlabel syariah sekadar menerapkan bagi keuntungan dan tidak mengikutsertakan pembagian risiko. Bahkan, hampir semua bank syariah bisa dikatakan menerapkan proporsi bagi hasil yang identik dengan cost of fund atau rate of return perbankan konvensional. Dengan kata lain, esensi yang dilakukan adalah sama, berupa penggandaan uang dan hasil berlebih yang secara normatif sesungguhnya ditentang dalam ajaran agama Islam.
Sayang, banyak pembela ekonomi syariah seakan menutup mata atau tidak mengetahui pelanggaran ini. Bagi mereka, segala sesuatu yang berlabelkan syariah adalah otomatis baik dan valid. Sebagai contoh, bank bagi hasil merupakan inovasi kelembagaan yang bisa jadi merupakan terobosan dalam mengatasi maraknya spekulasi dan keserakahan. Sayang, prakteknya masih terlalu mengekor bank bunga, sehingga esensinya tidak tercapai, hanya sekadar akad. Penyimpangan dari konsepsi bank syariah akan menghilangkan jati diri dan keunikan bank syariah, yang pada gilirannya akan menghilangkan eksistensi bank syariah.
Berdasarkan riset DPNP-BI (2000)
ada kecenderungan kekecewaan pengguna jasa perbankan syariah karena masih ada
praktik-praktik yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip syariah, sehingga
berakibat loyalitas dan kontinuitas penggunaan jasa bank tersebut tidak dapat
dipertahankan lama. Penyimpangan prinsip syariah dapat terjadi dalam berbagai
derajat, misalnya hanya yang sekedar melakukan benchmarking tingkat bagi hasil
atau marjin jual beli dengan tingkat bunga bank konvensional yang berlaku
hingga penempatan dana menganggur pada bank-bank konvensional dengan motif
memperoleh pendapatan bunga.
Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan
masih banyak terjadi kesalahpahaman dan rendahnya pemahaman masyarakat tentang
perbankan syariah. Sebanyak 94 persen dari 4000 responden yang telah dijelaskan
mengenai sistem perbankan syariah mengakui bahwa sistem bagi hasil (profit
sharing) adalah sistem yang dinilai universal dan dapat diterima karena
bersifat menguntungkan baik bagi bank maupun bagi nasabah. Disamping itu
awareness masyarakat akan eksistensi sistem perbankan syariah juga relatif
tinggi (79 persen).
Namun, pemahaman tentang keunikan dan karakteristik dari produk-produk perbankan syariah masih sangat rendah. Bahkan terdapat kecurigaan dan ketidakpuasan masyarakat yang menganggap bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional (10,2 persen dari 1500 responden di Jawa Timur). Sedangkan bagi hasil atau marjin/mark-up akad murabaha (prinsip jual beli) yang digunakan bank syariah dianggap sama saja dengan bunga (16,5 persen dari 1500 responden di Jawa Timur).
Kecurigaan dan ketidak puasan tersebut didasarkan pada pengalaman interaksi dengan sejumlah bank syariah (khususnya BPRS) yang memang belum melaksanakan prinsip-prinsip syariah secara konsisten. Selain itu ada juga karena prasangka, salah interpretasi, dan bias komunikasi dari masyarakat pengguna jasa bank syariah.
Namun, pemahaman tentang keunikan dan karakteristik dari produk-produk perbankan syariah masih sangat rendah. Bahkan terdapat kecurigaan dan ketidakpuasan masyarakat yang menganggap bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional (10,2 persen dari 1500 responden di Jawa Timur). Sedangkan bagi hasil atau marjin/mark-up akad murabaha (prinsip jual beli) yang digunakan bank syariah dianggap sama saja dengan bunga (16,5 persen dari 1500 responden di Jawa Timur).
Kecurigaan dan ketidak puasan tersebut didasarkan pada pengalaman interaksi dengan sejumlah bank syariah (khususnya BPRS) yang memang belum melaksanakan prinsip-prinsip syariah secara konsisten. Selain itu ada juga karena prasangka, salah interpretasi, dan bias komunikasi dari masyarakat pengguna jasa bank syariah.
Untuk itu, tantangan bagi akademisi
dan praktisi ekonomi syariah adalah membuat satu teori, rekomendasi kebijakan,
dan lembaga ekonomi Islam yang dapat diterapkan dalam perekonomian, terutama
dalam situasi yang masih bercampur antara praktek syariah dan nonsyariah. Saat
ini kebanyakan teori ekonomi syariah masih dibangun dalam settingekonomi yg
sepenuhnya Islami, yakni tidak ada riba. Asumsi ini tidak realistis sehingga
teori itu tidak bisa digunakan untuk menganalisis realitas.
Permasalahan lainnya adalah
kualitas SDM. Pada saat bank-bank syariah mulai tumbuh, keterdiaan SDM masih
belum memadai. Ditambah lagi SDM yang sudah ada dan bekerja pada bank syariah
masih ada yang belum memahami dan mampu mengkomunikasikan sistem syariah kepada
masyarakat.
Umur yang pendek, instrumen dan
produk yang terbatas, sumber daya manusia yang kurang dan asset yang masih
kecil adalah tantangan Bank Syariah yang harus dikuasai dan ditaklukan, selama
ada kemauan yang kuat dan usaha yang sungguh-sungguh insyaAllah Bank Syariah
akan survive dan unggul. Tantangan tadi disamping sebagai motivasi, juga
kendala dan hambatan yang harus dilewati oleh Bank Syariah.
Berdasarkan hal tersebut, Perbankan Syariah Indonesia dituntut untuk lebih giat mengembangkan usahanya, baik dalam sosialisasi, inovasi instrumen dan produk bank, pemberian pelayanan yang memuaskan dan memfungsikan Bank Syariah bukan hanya sekedar sebagai lembaga finansial dan komersial tapi juga lembaga keuangan sosial karena dengan masuknya Bank Syariah dalam kegiatan sosial akan melahirkan sentimen positif dalam berbagai hal.
Berdasarkan hal tersebut, Perbankan Syariah Indonesia dituntut untuk lebih giat mengembangkan usahanya, baik dalam sosialisasi, inovasi instrumen dan produk bank, pemberian pelayanan yang memuaskan dan memfungsikan Bank Syariah bukan hanya sekedar sebagai lembaga finansial dan komersial tapi juga lembaga keuangan sosial karena dengan masuknya Bank Syariah dalam kegiatan sosial akan melahirkan sentimen positif dalam berbagai hal.
Saya tertarik dengan tulisan anda mengenai Tantangan Perbankan Syariah Di Indonesia.
ReplyDeleteSaya juga mempunyai tulisan yang sejenis mengenai Perbankan yang bisa anda kunjungi di sini