Kasus:
Seorang pedagang minyak mengetahui bahwa kebutuhan minyak pada hari raya akan meningkat. Oleh karena itu jauh sebelum hari raya tersebut, pedagang tersebut telah menyimpan sebagian minyaknya. Walaupun ia menyimpan / mengurangi minyaknya, ia tetap menjualnya sesuai harga pasar.
Analisis Fiqh:
Pedagang yang menyimpan / menimbun minyaknya karena mengetahui bahwa kebutuhan akan minyak tersebut meningkat pada hari raya termasuk perbuatan yang merugikan orang lain. Perbuatan seperti ini akan mendatangkan madharat, yaitu:
Seorang pedagang minyak mengetahui bahwa kebutuhan minyak pada hari raya akan meningkat. Oleh karena itu jauh sebelum hari raya tersebut, pedagang tersebut telah menyimpan sebagian minyaknya. Walaupun ia menyimpan / mengurangi minyaknya, ia tetap menjualnya sesuai harga pasar.
Analisis Fiqh:
Pedagang yang menyimpan / menimbun minyaknya karena mengetahui bahwa kebutuhan akan minyak tersebut meningkat pada hari raya termasuk perbuatan yang merugikan orang lain. Perbuatan seperti ini akan mendatangkan madharat, yaitu:
- Akan terjadi kelangkaan minyak, karena pada saat itu banyak manusia yang membutuhkan minyak, tetapi jumlah yang ditawarkan sedikit.
- Sebagai akibat kelangkaan minyak, maka akan terjadi kenaikan harga minyak di pasar. Konsumen dirugikan, tetapi pedagang akan mendapatkan keuntungan yang lebih.
Penimbunan minyak yang dilakukan
pedagang tersebut jelas merugikan banyak orang, padahal Allah Azza Wa Jalla melarang
perbuatan yang dapat merugikan orang lain dalam firman-Nya:
Artinya: “dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”
(Q.S. Al-Maidah: 2)
Walaupun pedagang tersebut menjual minyaknya sesuai harga pasar, tetapi harga pasar pada saat ia menjual minyak tersebut sudah melambung tinggi sebagai salah satu akibat dari penimbunan minyak sebelumnya. Hal ini tentu merugikan konsumen (kepentingan orang banyak) dan hanya menguntungkan pihak penjual saja (kepentingan pribadi). Seharusnya ketika kepentingan pribadi bertentangan dengan kepentingan orang banyak, maka yang didahulukan adalah kepentingan orang banyak.
Walaupun pedagang tersebut menjual minyaknya sesuai harga pasar, tetapi harga pasar pada saat ia menjual minyak tersebut sudah melambung tinggi sebagai salah satu akibat dari penimbunan minyak sebelumnya. Hal ini tentu merugikan konsumen (kepentingan orang banyak) dan hanya menguntungkan pihak penjual saja (kepentingan pribadi). Seharusnya ketika kepentingan pribadi bertentangan dengan kepentingan orang banyak, maka yang didahulukan adalah kepentingan orang banyak.
Menurut Yusuf Al-Subaily (2009) Ihtikar adalah menahan barang yang
merupakan hajat orang banyak dengan tidak menjualnya agar permintaan bertambah dan
harga menjadi naik, saat itulah kemudian ia menjualnya. Berdasarkan pengertian
tersebut maka, perbuatan penjual tadi termasuk dalam kategori perbuatan ihtikar, karena:
- Minyak merupakan hajat orang banyak dan termasuk kebutuhan pokok.
- Penimbunan yang dilakukan pedagang tersebut akan menyebabkan naiknya harga minyak karena tingkat permintaan konsumen meningkat sebaliknya tingkat penawarannya berkurang.
Padahal ihtikar termasuk perbuatan yang dilarang oleh syariat Islam,
sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam:
مَنِ احْتَكَرَ
فَهُوَ خَاطِئٌ
Artinya: “Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa.” (HR. Muslim: 1605)
Berdasarkan makna umum hadist tersebut,
maka perbuatan penjual minyak yang menimbun minyaknya karena mengetahui tingkat
kebutuhan konsumen akan meningkat pada hari raya tersebut termasuk perbuatan
ihtikar yang dilarang oleh Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam.
Terdapat perbedaan pendapat diantara
ulama tentang ihtikar ini, ada yang mengharamkan ihtikar secara mutlak, ada
yang memakruhkannya, tetapi ada juga yang membolehkannya. Ulama yang
membolehkan ihtikar berdalil dengan sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam:
عَنْ ابْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَأَيْتُ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ الطَّعَامَ
مُجَازَفَةً عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَنْهَوْنَ أَنْ يَبِيعُوهُ حَتَّى يُؤْوُوهُ إِلَى رِحَالِـهِمْ
Dari Ibnu Umar Radiyallahuanhu beliau
berkata: "Aku melihat orang-orang yang
membeli bahan makanan dengan tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam mereka dilarang menjualnya kecuali
harus mengangkutnya ke tempat tinggal mereka terlebih dahulu."
(HR. Bukhori 2131, dan Muslim 5/8).
Menurut Yusuf Al-Subaily (2009) Ihtikar diharamkan bilamana terdapat dua
hal:
- Melakukan ihtikar pada saat harga melambung, adapun menimbun barang pada waktu harga murah tidak dinamakan ihtikar.
- Barang yang ditimbun merupakan hajat orang banyak dan mereka terimbas dengan tindakan tersebut, seperti makanan pokok, bahan bakar, material bangunan, dll. Adapun barang yang tidak termasuk kebutuhan pokok maka tidak diharamkan menimbunnya.
Ada keadaan-keadaan tertentu yang membolehkan
seseorang menimbun barang, diantaranya:
- Keadaan penawaran di pasar yang berlebihan.
- Tidak merugikan para konsumaen karena di anggap harga di pasar lebih rendah dari standar.
- Apabila penjual memaksakan diri untuk tetap menjual barang ke pasar maka kerugianlah yang akan di dapatkan penjual tersebut.
Petani
yang menimbun padi hasil panennya karena harga padi jatuh diakibatkan
banyaknya penawaran, sehingga apabila petani tersebut nekat menjual
padinya akan mengalami kerugian bukanlah termasuk dalam kategori ihtikar. Contoh lainnya adalah Bulog, yang menimbun padi dengan tujuan menjaga kestabilan harga beras bukan juga dalam kategori ihtikar.
Kesimpulan:
Berdasarkan uaraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa perbuatan penjual yang menimbun minyak tersebut termasuk
dalam perbuatan ihtikar yang diharamkan
oleh syariat Islam.
Referensi:
Drs. H. Soeprayitno, MBA, M.Sc., Ph.D.
Yusuf Al Subaily.
2009. Pengantar Fiqh Muamalat dan
Aplikasinya Dalam Ekonomi Modern. http://istayn.staff.uns.ac.id/.
Hartono. 2012. Monopoli (Ikhtikar). http://hartonouisb.blogspot.com/.
http://www.scribd.com/doc/90629944/ikhtikar.
0 comments:
Post a Comment